Kamis, 08 Desember 2016

SUMBER HUKUM ISLAM - ISTIHSAN


 
MAKALAH

ISTIHSAN
DOSEN PENGAMPU: MATLAUL IRFAN MAg.
MATA KULIAH : USHUL FIQH




 




OLEH KELOMPOK III



PRODI EKONOMI SYARI’AH
FAKULTAS SYARI’AH
INSTITUT AGAMA ISLAM HAMZANWADI NW PANCOR
2016

 



BAB I
PENDAHULUAN

1.     Latar belakang masalah

Ilmu Ushul Fiqih merupakan salah satu intsrumen penting yang harus dipenuhi oleh siapapun yang ingin melakukan mekanisme ijtihad dan istinbath hukum dalam Islam. Itulah sebabnya dalam pembahasan kriteria seorang mujtahid, penguasaan akan ilmu ini dimasukkan sebagai salah satu syarat mutlaknya untuk menjaga agar proses ijtihad dan istinbath  tetap berada pada koridor yang semestinya.
Meskipun demikian, ada satu fakta yang tidak dapat dipungkiri bahwa penguasaan Ushul Fiqih tidaklah serta merta menjamin kesatuan hasil ijtihad dan istinbath para mujtahid. Disamping faktor eksternal Ushul Fiqih itu sendiri, seperti penentuan keshahihan suatu hadits misalnya, internal Ushul Fiqih sendiri pada sebagian masalahnya mengalami perdebatan (ikhtilaf) di kalangan para Ushuliyyin. Inilah yang kemudian dikenal dengan istilah al-Adillah (sebagian ahli Ushul menyebutnya: al-Ushul al-Mukhtalaf fiha, atau “Dalil-dalil yang diperselisihkan penggunaannya” dalam penggalian dan penyimpulan hukum.
Mashadirul Ahkam (sumber-sumber hukum) ada yang disepakati ada yang tidak. Jelasnya, ada Mashadir Ashliyah (sumber pokok) yaitu: Al-Qur’an dan Sunnah Rasul-Nya dan ada Mashadir Thabi’iyah (sumber yang dipautkan kepada sumber-sumber pokok) yang disepakati oleh jumhur fuqaha yaitu: ijma dan qiyas. Adapula yang di ikhtilafi oleh tokoh-tokoh ahli ijtihad sendiri yaitu: Istihsan, istishab, Maslahah mursalah, Urf, Saddudzari’ah, dan madzhab sahabi.
Makalah ini akan menguraikan tentang hakikat Istihsan, yang mencakup pengertian, macam-macamnya, kehujjahannya, kaidah-kaidahnya, dan contoh-contoh produk hukumnya.
2.     Tujuan Penulisan
a.      Mengetahui deskripsi istihsan.
b.     Memenuhi tugas mata kuliah Ushul fiqh semester III tahun akademik 2016.
3.     Rumusan Masalah
Permasalahan dalam penulisan dirumuskan sebagai berikut:
a.      Bagaimana definisi istihsan  ?
b.     Apa saja macam-macam  istihsan ?
c.      Apa dasar hukum istihsan ?
d.     Bagaimana pendapat ulama yang  berhujjah dengan istihsan dan bagaimana pendapat ulama yang tidak berhujjah dengan istihsan ?


BAB II
PEMBAHASAN

1.     Definisi Istihsan

a.      Makna Etimologi
Istihsan menurut Etimologis (bahasa)  adalah menganggap baik sesuatu [1][1]. “Memperhitungkan sesuatu lebih baik”, atau “adanya sesuatu itu lebih baik”, atau “mengikuti sesuatu yang lebih baik”, atau  “mencari yang lebih baik untuk di ikuti, karena memang di suruh untuk itu”[2][2].
Istihsan secara bahasa juga berasal dari kata bentukan (musytaq) dari al-hasan (apapun yang baik dari sesuatu). Istihsan sendiri kemudian berarti “kecenderungan seseorang pada sesuatu karena menganggapnya lebih baik, dan ini bisa bersifat lahiriah (hissiy) ataupun maknawiah; meskipun  hal itu dianggap tidak baik oleh orang lain.
Dari lughawi di atas tergambar adanya seseorang yang menghadapi dua hal yang keduanya baik. Namun ada hal yang mendorongnya untuk meninggalkan satu di antaranya dan menetapkan untuk mengambil yang satunya lagi, karena itulah yang di anggapnya lebih baik untuk diamalkan.

b.     Makna Terminologi
Istihsan menurut terminologi (istilah) ulama’ ushul adalah beralihnya pemikiran seorang mujtahid dari tuntutan kias yang nyata kepada kias yang samar atau dari hukum umum kepada perkecualian karena  ada kesalahan pemikiran yang kemudian memenangkan perpindahan itu.
Adapun pengertian istihsan menurut istilah, sebagaimana disebutkan oleh Abdul Wahab Khalaf [3][5].
“Istihsan adalah berpindahnya seorang mujtahid dari ketentuan qiyas jali (yang jelas) kepada ketentuan qiyas Khafi (yang samar), atau ketentuan yang kulli (umum) kepada ketentuan yang sifatnya istisna’i (pengecualian), karena menurut pandangan mujtahid itu adalah dalil (alasan) yang lebih kuat yang menghendaki perpindahan tersebut”.
Sedangkan Menurut imam Abu Al Hasan al Karkhi istihsan  ialah penetapan hukum dari seorang mujtahid terhadap suatu masalah yang menyimpang dari ketetapan hukum yang diterapkan pada masalah-masalah yang serupa, karena ada alasan yang lebih kuat yang menghendaki dilakukannya penyimpanagan itu.
2.     Dasar Hukum Istihsan

a)     Al-qur’an
            Para ulama yang mempertahankan istihsan mengambil dalil dari al-Qur’an dan Sunnah yang menyebutkan kata istihsan dalam pengertian denotatif (lafal yang seakar dengan istihsan) seperti Firman Allah Swt dalam surah Al-Zumar : 18
tûïÏ%©!$# tbqãèÏJtFó¡o tAöqs)ø9$# tbqãèÎ6­Fusù ÿ¼çmuZ|¡ômr& 4 y7Í´¯»s9'ré& tûïÏ%©!$# ãNßg1yyd ª!$# ( y7Í´¯»s9'ré&ur öNèd (#qä9'ré& É=»t7ø9F{$#  .ÇÊÑÈ
Artinya: “Yang mendengarkan perkataan lalu mengikuti apa yang paling baik di antaranya. mereka Itulah orang-orang yang Telah diberi Allah petunjuk dan mereka Itulah orang-orang yang mempunyai akal”. (QS. Az-Zumar : 18)
Ayat ini menurut mereka menegaskan bahwa pujian Allah bagi hambaNya yang memilih dan mengikuti perkataan yang terbaik, dan pujian tentu tidak ditujukan kecuali untuk sesuatu yang disyariatkan oleh Allah.
b)     Hadits Nabi saw:
فَمَا رَأَى الْمُسْلِمُونَ حَسَنًا فَهُوَ عِنْدَ اللَّهِ حَسَنٌ وَمَا رَأَوْا سَيِّئًا فَهُوَ عِنْدَ اللَّهِ سَيِّئٌ.

Artinya:“Apa yang dipandang kaum muslimin sebagai sesuatu yang baik, maka ia di sisi Allah adalah baik dan apa-apa yang dipandang sesuatu yang buruk, maka disisi Allah adalah buruk pula”.
Hadits ini menunjukkan bahwa apa yang dipandang baik oleh kaum muslimin dengan akal-sehat mereka, maka ia pun demikian di sisi Allah. Ini menunjukkan kehujjahan Istihsan.
3.     Kedudukan atau Kehujjahan ishtisan
Ulama berbeda pendapat menetapkan istihsan sebagai salah satu metode istimbat hukum.  Ulama hanafiah, malikiah, dan sebagian ulama hanabilah menyatakan bahwa istihsan meruapakan dalil yang kuat dengan alasan:
a)     Mengunakan istihsan sebagai dalil syara' yaitu mencari kemudahan dan meninggalkan kesulitan.

Firman allah SWT :
 ßƒÌãƒ ª!$# ãNà6Î/ tó¡ãŠø9$# Ÿwur ߃̍ムãNà6Î/ uŽô£ãèø9$#
Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki kesukaran bagimu...(Qs. Albaqarah: 185)

(#þqãèÎ7¨?$#ur z`|¡ômr& !$tB tAÌRé& Nä3øs9Î) `ÏiB Nà6În/§ `ÏiB È@ö6s% br& ãNà6uÏ?ù'tƒ Ü>#xyèø9$# ZptGøót/ óOçFRr&ur Ÿw šcrããèô±n@ ÇÎÎÈ  
Artinya :
“Dan ikutilah Sebaik-baik apa yang telah diturunkan kepadamu dari Tuhanmu sebelum datang azab kepadamu dengan tiba-tiba, sedang kamu tidak menyadarinya”(QS.Azzumar:55)

b)     Ucapan Abdullah bin Mas'ud
"Sesuatu yang dipandang baik oleh kaum muslimin, maka di pandang baik oleh Allah"
4.     Macam-macam al istihsan
Ditinjau berdasarkan pengertian istihsan yang telah dikemukakan, pada pokoknya istihsan dapat terbagi menjadi dua bagian, yaitu:
1)     Mengedepankan qiyas khafi (tidak jelas) dari qiyas jali (jelas), karena adanya dalil yang mengharuskan pemindahan itu, Istihsan dalam bentuk ini, disebut dengan istihsan qiyasi.
Contoh:
Sisa makanan pada binatang yang haram di makan berdasarkan qiyas adalah najis, karena dengan jalan qiyas dijelaskan bahwa sisa yang masih ada pada binatang tersebut hukumnya adalah haram, karena hukumnya mengikuti daging binatang buas tersebut, seperti harimau, sibak maupun serigala. Menurut istihsan, sisa makanan binatang buas yang dagingnya haram di makan seperti burung garuda, gagak, elang dan rajawali adalah suci, karena tidak terjadi percampuran dengan sisa yang masih ada pada binatang tersebut, sebab ia minum menggunakan paruh yang suci. Sedangkan binatang buas seperti harimau, sibak maupun serigala lidahnya bercampur dengan air liur, dan ia minum menggunakan lidahnya, maka sisanya adalah najis.

2)     Mengecualikan juz'iyah (khusus/parsial) dari hukum kully (umum) yang
didasarkan atas dalil khusus yang menghendaki demikian. Istihsan bentuk kedua ini di sebut dengan istihsan istitsna'i. Dalam istihsan istitsna'i di bagi menjadi beberapa macam, yaitu:
a)     Istihsan bi an-Nashash, yaitu suatu pengalihan hukum dari ketentuan umum kepada ketentuan yang lain dalam bentuk pengecualian, hal ini disebabkan karena adanya nash yang mengecualikannya, baik dari Al-Qur'an maupun Sunnah.
Contoh:
Menurut ketentuan umum, ketika seseorang meninggal maka ia tidak berhak lagi terhadap hartanya, karena beralih kepada ahli warisnya. Namun, ketentuan tersebut dikecualikan oleh Al-Qur'an yang menetapkan berlakunya ketentuan wasiat setelah seseorang meninggal.
Firman Allah SWT:
`ÏB Ï÷èt/ 7p§Ï¹ur ÓÅ»qム!$pkÍ5 ÷rr& AûøïyŠ
Artinya :
“Sesudah dipenuhi wasiat yang diwasiatkannya atau  sesudah dibayar hutangnya”(Q.S. An-nisa ;12)
Sedangkan contoh istihsan istitsna'i yang bersandar pada Sunnah ialah tidak batalnya puasa seseorang yang makan dan minum karena lupa, padahal sesuai ketentuan umum makan dan minum membatalkan puasa. Ketentuan umum tersebut dikecualikan oleh hadis yang Artinya:
"Dari Abu Hurairah ra, katanya, Rasulallah saw bersabda:"Barangsiapa yang lupa padahal ia berpuasa, kemudian ia makan dan minum, maka hendaklah ia menyempurnakan puasanya, karena sesungguhnya Allah sedang memberi makan dan minum kepadanya".

b)     Istihsan bi al-Ijma' yaitu suatu pengalihan hukum dari ketentuan yang umum kepada ketentuan lain dalam bentuk pengecualian, hal ini disebabkan karena adanya ketentuan ijma’ yang mengecualikannya.
Contoh:

Rasullah saw bersabda yang Artinya: "Jangan jual belikan sesuatu yang belum ada padamu".
Berdasarkan Hadis di atas, maka melakukan transaksi terhadap barang yang belum ada adalah batal. Namun, hal tersebut boleh dilakukan, karena sejak dulu praktek tersebut masih berlangsung, tanpa ada larangan dari ulama. Sikap ulama tersebut di pandang sebagai ijma’.

c)     Istihsan bi al-Urf yaitu suatu pengecualian hukum dari prinsip syari'ah yang bersifat umum kepada ketentuan yang lainnya, berdasarkan atas kebiasaan yang berlaku.
Contoh:
Berdasarkan ketentuan umum, dalam menetapkan ongkos kendaraan umum dengan harga tertentu secara pukul rata, tanpa membedakan dekat maupun jauhnya jarak yang di tempuh adalah terlarang. Namun, kebiasaan tersebut diperbolehkan berdasarkan kebiasaan yang berlaku, demi menghindarkan kesulitan dan terpeliharanya kebutuhan masyarakat terhadap transaksi tersebut.
d)     Istihsan bi ad-Dharurah yaitu terdapatnya keadaan darurat untuk mengecualikan ketentuan yang umum kepada ketentuan lain yang memenuhi kebutuhan dalam mengatasi keadaan darurat.
Contoh:

Menurut ketentuan umum, hukum air sumur yang kejatuhan najis adalah tetap najis, walaupun dengan cara menguras airnya. Sebab, ketika air sumur di kuras, maka mata air akan tetap mengeluarkan air yang kemudian akan bercampur dengan air yang terkena najis. Namun, untuk mengahapi keadaan darurat, maka air sumur dihukumi suci setelah di kuras.

5.     Kekuatan istihsan sebagai hujjah
Diantara orang-orang yang berhujjah dengan istihsan adalah mayoritas kelompok hanafi. Mereka beralasan: Pengambilan dalil dengan istihsan adalah mengambilan dalil dengan kias yang samar yang mengalahkan kias yang nyata, atau memenangkan kias atas kias lain yang menentangnya karena kepentingan umum dengan cara mengecualikan sebagian dari hukum umum. Dan semua itu pengambilan dalil yang benar.

6.     Alasan ulama yang tidak berhujah dengan istihsan
Sebagian kelompok mujtahid menginkari kebenaran istihsan, mereka menganggapnya sebagai pembentukan hukum berdasarkan hawa nafsu  dan seenaknya sendiri.
Diantara tokohnya adalah Imam Syafii, seperti telah di nukil darinya; Siapa yang menggunakan istihsan berarti ia membuat syariat. Artinya orang itu membuat syariat sendiri. Ditetapkan dalam Risalah Ushuliyahnya: perumpamaan orang yang menetapkan hukum dengan istihsan adalah  seperti orang sholat menghadap  ke arah yang di anggap baik itu ka’bah, tanpa menggunakan dalil-dalil yang di tetapkan oleh syar’i dalam menetukan arah ka’bah.
Dalam kitab itu disebutkan bahwa istihsan adalah berenak enak, seandainya melakukan istihsan dalam agama itu diperbolehkan, niscaya boleh juga dilakukan orang-orang yang punya akal meskipun bukan ahli ilmu. Dan niscaya boleh menciptakan Syariat dalam agama di setiap permasalahan, serta setiap orang boleh membuat syariat untuk dirinya sendiri. 



















BAB III
PENUTUP
A.    Kesimpulan

1.     Istihsan menurut terminologi (istilah) ulama’ ushul adalah beralihnya pemikiran seorang mujtahid dari tuntutan kias yang nyata kepada kias yang samar atau dari hukum umum kepada perkecualian karena  ada kesalahan pemikiran yang kemudian memenangkan perpindahan itu.
2.     Macam-macam istihsan
a)     Mengedepankan qiyas khafi (tidak jelas) dari qiyas jali (jelas), karena adanya dalil yang mengharuskan pemindahan itu, Istihsan dalam bentuk ini, disebut dengan istihsan qiyasi.
b)     Mengecualikan juz'iyah (khusus/parsial) dari hukum kully (umum) yang didasarkan atas dalil khusus yang menghendaki demikian. Istihsan bentuk kedua ini di sebut dengan istihsan istitsna'i. Dalam istihsan istitsna'i di bagi menjadi beberapa macam, yaitu:
1.     Istihsan bi an-Nashash
2.     Istihsan bi al-Ijma'
3.     Istihsan bi al-Urf
4.     Istihsan bi ad-Dharurah
3.     Diantara orang-orang yang berhujjah dengan istihsan adalah mayoritas kelompok hanafi dan Sebagian kelompok mujtahid menginkari kebenaran istihsan tokohnya ialah imam syafi’i.

B.    Saran
Kami menyadari dalam makalah kami ini masih banyak kekurangan dan kesalahan, dan kami berharap kritik dan saran untuk makalah ini demi kesempurnaanya.




DAFTAR PUSTAKA
Abu Zahrah Muhammad, Ushul Fiqih, (Pustaka Firdaus :Jakarta, 1999)
Khallaf Abdul Wahhab, Ilmu ushul fikih, (Jakarta : Pustaka Amani, 2003)
Syarifuddin Amir, Ushul fiqh jilid II, (Jakarta: Kencana, 2011)






































[1][1] Abdul Wahhab Khallaf, Ilmu ushul fikih, (Jakarta : Pustaka Amani, 2003), hal. 104
[2][2] Amir Syarifuddin, Ushul fiqh jilid II, (Jakarta: Kencana, 2011), hal.324
[3][5] Abdul Wahab Khalaf, Ilmu Ushul al-fikih (Maktabah Al-Dakwah al-Islamiyah,1991), hal.79