MAKALAH
ISTIHSAN
DOSEN
PENGAMPU: MATLAUL IRFAN MAg.
MATA KULIAH : USHUL FIQH
OLEH
KELOMPOK III
PRODI EKONOMI SYARI’AH
FAKULTAS SYARI’AH
INSTITUT AGAMA ISLAM HAMZANWADI
NW PANCOR
2016
BAB I
PENDAHULUAN
1. Latar
belakang masalah
Ilmu Ushul Fiqih merupakan salah
satu intsrumen penting yang harus dipenuhi oleh siapapun yang ingin melakukan
mekanisme ijtihad dan istinbath hukum dalam Islam. Itulah sebabnya dalam
pembahasan kriteria seorang mujtahid, penguasaan akan ilmu ini dimasukkan
sebagai salah satu syarat mutlaknya untuk menjaga agar proses ijtihad dan istinbath
tetap berada pada koridor yang semestinya.
Meskipun demikian, ada satu fakta
yang tidak dapat dipungkiri bahwa penguasaan Ushul Fiqih tidaklah serta merta
menjamin kesatuan hasil ijtihad dan istinbath para mujtahid. Disamping
faktor eksternal Ushul Fiqih itu sendiri, seperti penentuan keshahihan suatu
hadits misalnya, internal Ushul Fiqih sendiri pada sebagian masalahnya
mengalami perdebatan (ikhtilaf) di kalangan para Ushuliyyin. Inilah
yang kemudian dikenal dengan istilah al-Adillah (sebagian ahli Ushul
menyebutnya: al-Ushul al-Mukhtalaf fiha, atau “Dalil-dalil yang
diperselisihkan penggunaannya” dalam penggalian dan penyimpulan hukum.
Mashadirul Ahkam (sumber-sumber hukum) ada yang disepakati ada yang tidak.
Jelasnya, ada Mashadir Ashliyah (sumber pokok) yaitu: Al-Qur’an dan Sunnah
Rasul-Nya dan ada Mashadir Thabi’iyah (sumber yang dipautkan kepada
sumber-sumber pokok) yang disepakati oleh jumhur fuqaha yaitu: ijma dan qiyas.
Adapula yang di ikhtilafi oleh tokoh-tokoh ahli ijtihad sendiri yaitu: Istihsan,
istishab, Maslahah mursalah, Urf, Saddudzari’ah, dan madzhab sahabi.
Makalah ini akan menguraikan tentang hakikat Istihsan, yang mencakup
pengertian, macam-macamnya, kehujjahannya, kaidah-kaidahnya, dan contoh-contoh
produk hukumnya.
2. Tujuan
Penulisan
a. Mengetahui deskripsi istihsan.
b. Memenuhi tugas mata kuliah Ushul fiqh semester III tahun akademik 2016.
3. Rumusan
Masalah
Permasalahan dalam penulisan
dirumuskan sebagai berikut:
a. Bagaimana definisi istihsan ?
b. Apa saja
macam-macam istihsan ?
c. Apa dasar hukum istihsan ?
d. Bagaimana pendapat ulama yang berhujjah dengan istihsan dan bagaimana
pendapat ulama yang tidak berhujjah dengan istihsan ?
BAB II
PEMBAHASAN
1.
Definisi Istihsan
a.
Makna Etimologi
Istihsan
menurut Etimologis (bahasa) adalah
menganggap baik sesuatu
[1][1]. “Memperhitungkan sesuatu lebih baik”, atau “adanya
sesuatu itu lebih baik”, atau “mengikuti sesuatu yang lebih baik”, atau “mencari yang lebih baik untuk di ikuti,
karena memang di suruh untuk itu”[2][2].
Istihsan secara bahasa juga berasal dari kata bentukan (musytaq) dari al-hasan (apapun yang baik dari
sesuatu). Istihsan sendiri kemudian berarti “kecenderungan seseorang
pada sesuatu karena menganggapnya lebih baik, dan ini bisa bersifat lahiriah (hissiy)
ataupun maknawiah; meskipun hal
itu dianggap tidak baik oleh orang lain.
Dari lughawi di
atas tergambar adanya seseorang yang menghadapi dua hal yang keduanya baik.
Namun ada hal yang mendorongnya untuk meninggalkan satu di antaranya dan
menetapkan untuk mengambil yang satunya lagi, karena itulah yang di anggapnya
lebih baik untuk diamalkan.
b. Makna Terminologi
Istihsan
menurut terminologi (istilah) ulama’ ushul adalah beralihnya pemikiran seorang
mujtahid dari tuntutan kias yang nyata kepada kias yang samar atau dari hukum
umum kepada perkecualian karena ada
kesalahan pemikiran yang kemudian memenangkan perpindahan itu.
“Istihsan adalah berpindahnya seorang mujtahid dari ketentuan qiyas jali
(yang jelas) kepada ketentuan qiyas Khafi (yang samar), atau ketentuan yang
kulli (umum) kepada ketentuan yang sifatnya istisna’i (pengecualian), karena
menurut pandangan mujtahid itu adalah dalil (alasan) yang lebih kuat yang
menghendaki perpindahan tersebut”.
Sedangkan Menurut imam Abu Al Hasan al Karkhi istihsan ialah penetapan hukum dari seorang mujtahid
terhadap suatu masalah yang menyimpang dari ketetapan hukum yang diterapkan
pada masalah-masalah yang serupa, karena ada alasan yang lebih kuat yang
menghendaki dilakukannya penyimpanagan itu.
2.
Dasar Hukum Istihsan
a) Al-qur’an
Para ulama yang mempertahankan istihsan mengambil dalil dari al-Qur’an dan
Sunnah yang menyebutkan kata istihsan dalam pengertian denotatif (lafal yang
seakar dengan istihsan) seperti Firman Allah Swt dalam surah Al-Zumar : 18
tûïÏ%©!$# tbqãèÏJtFó¡o„ tAöqs)ø9$# tbqãèÎ6Fu‹sù ÿ¼çmuZ|¡ômr& 4 y7Í´¯»s9'ré& tûïÏ%©!$# ãNßg1y‰yd ª!$# (
y7Í´¯»s9'ré&ur öNèd (#qä9'ré& É=»t7ø9F{$# .ÇÊÑÈ
Artinya: “Yang mendengarkan perkataan lalu mengikuti apa yang paling
baik di antaranya. mereka Itulah orang-orang yang Telah diberi Allah petunjuk
dan mereka Itulah orang-orang yang mempunyai akal”. (QS. Az-Zumar :
18)
Ayat ini menurut mereka menegaskan bahwa pujian Allah bagi hambaNya yang
memilih dan mengikuti perkataan yang terbaik, dan pujian tentu tidak ditujukan
kecuali untuk sesuatu yang disyariatkan oleh Allah.
b) Hadits Nabi saw:
فَمَا رَأَى الْمُسْلِمُونَ حَسَنًا فَهُوَ عِنْدَ اللَّهِ حَسَنٌ وَمَا
رَأَوْا سَيِّئًا فَهُوَ عِنْدَ اللَّهِ سَيِّئٌ.
Artinya:“Apa yang dipandang kaum muslimin sebagai sesuatu yang baik,
maka ia di sisi Allah adalah baik dan apa-apa yang dipandang sesuatu yang
buruk, maka disisi Allah adalah buruk pula”.
Hadits ini menunjukkan bahwa apa yang dipandang baik oleh kaum muslimin
dengan akal-sehat mereka, maka ia pun demikian di sisi Allah. Ini menunjukkan
kehujjahan Istihsan.
3. Kedudukan atau Kehujjahan ishtisan
Ulama berbeda pendapat menetapkan istihsan sebagai salah
satu metode istimbat hukum. Ulama hanafiah, malikiah, dan sebagian ulama
hanabilah menyatakan bahwa istihsan meruapakan dalil yang kuat dengan alasan:
a)
Mengunakan
istihsan sebagai dalil syara' yaitu mencari kemudahan dan meninggalkan kesulitan.
Firman allah SWT :
ßÌã ª!$# ãNà6Î/
tó¡ãø9$#
wur
ßÌã ãNà6Î/ uô£ãèø9$#
Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki
kesukaran bagimu...(Qs. Albaqarah: 185)
(#þqãèÎ7¨?$#ur
z`|¡ômr&
!$tB
tAÌRé&
Nä3øs9Î)
`ÏiB
Nà6În/§
`ÏiB
È@ö6s%
br&
ãNà6uÏ?ù't
Ü>#xyèø9$#
ZptGøót/
óOçFRr&ur
w
crããèô±n@
ÇÎÎÈ
Artinya :
“Dan ikutilah Sebaik-baik apa yang telah diturunkan kepadamu dari Tuhanmu
sebelum datang azab kepadamu dengan tiba-tiba, sedang kamu tidak menyadarinya”(QS.Azzumar:55)
b) Ucapan Abdullah bin
Mas'ud
"Sesuatu
yang dipandang baik oleh kaum muslimin, maka di pandang baik oleh Allah"
4.
Macam-macam al istihsan
Ditinjau berdasarkan pengertian
istihsan yang telah dikemukakan, pada pokoknya istihsan dapat terbagi menjadi
dua bagian, yaitu:
1) Mengedepankan
qiyas khafi (tidak jelas) dari qiyas jali (jelas), karena adanya dalil yang mengharuskan pemindahan
itu, Istihsan dalam bentuk ini,
disebut dengan istihsan qiyasi.
Contoh:
Sisa makanan
pada binatang yang haram di makan berdasarkan qiyas adalah najis, karena dengan
jalan qiyas dijelaskan bahwa sisa yang masih ada pada binatang tersebut hukumnya
adalah haram, karena hukumnya mengikuti daging binatang buas tersebut, seperti
harimau, sibak maupun serigala. Menurut istihsan, sisa makanan binatang buas
yang dagingnya haram di makan seperti burung garuda, gagak, elang dan rajawali
adalah suci, karena tidak terjadi percampuran dengan sisa yang masih ada pada
binatang tersebut, sebab ia minum menggunakan paruh yang suci. Sedangkan
binatang buas seperti harimau, sibak maupun serigala lidahnya bercampur dengan air liur, dan ia minum menggunakan lidahnya, maka sisanya adalah najis.
2) Mengecualikan
juz'iyah (khusus/parsial) dari hukum kully (umum) yang
didasarkan atas dalil
khusus yang menghendaki demikian. Istihsan bentuk kedua
ini di sebut dengan istihsan istitsna'i. Dalam istihsan istitsna'i di
bagi menjadi beberapa macam, yaitu:
a)
Istihsan bi an-Nashash, yaitu suatu pengalihan hukum dari
ketentuan umum kepada ketentuan yang lain dalam bentuk pengecualian, hal ini
disebabkan karena adanya nash yang mengecualikannya, baik dari Al-Qur'an maupun
Sunnah.
Contoh:
Menurut
ketentuan umum, ketika seseorang
meninggal maka ia tidak berhak lagi terhadap hartanya, karena beralih kepada
ahli warisnya. Namun, ketentuan tersebut dikecualikan
oleh Al-Qur'an yang menetapkan berlakunya ketentuan wasiat setelah seseorang meninggal.
Firman Allah SWT:
`ÏB Ï÷èt/ 7p§Ï¹ur
ÓÅ»qã
!$pkÍ5
÷rr&
Aûøïy
Artinya :
“Sesudah dipenuhi wasiat yang diwasiatkannya atau sesudah dibayar hutangnya”(Q.S. An-nisa ;12)
Sedangkan contoh istihsan istitsna'i yang bersandar pada Sunnah ialah tidak
batalnya puasa seseorang yang makan dan minum karena lupa, padahal sesuai
ketentuan umum makan dan minum membatalkan puasa. Ketentuan umum tersebut
dikecualikan oleh hadis yang Artinya:
"Dari Abu Hurairah ra, katanya,
Rasulallah saw bersabda:"Barangsiapa yang lupa padahal ia berpuasa,
kemudian ia makan dan minum, maka hendaklah ia menyempurnakan puasanya, karena
sesungguhnya Allah sedang memberi makan dan minum kepadanya".
b) Istihsan bi
al-Ijma' yaitu suatu pengalihan hukum dari ketentuan yang umum kepada ketentuan
lain dalam bentuk pengecualian, hal ini disebabkan karena adanya ketentuan ijma’
yang mengecualikannya.
Contoh:
Rasullah saw bersabda yang Artinya: "Jangan
jual belikan sesuatu yang belum ada padamu".
Berdasarkan Hadis di
atas, maka melakukan transaksi terhadap barang yang
belum ada adalah batal. Namun, hal tersebut boleh dilakukan, karena sejak dulu praktek tersebut masih
berlangsung, tanpa ada larangan dari ulama. Sikap ulama tersebut di pandang
sebagai ijma’.
c)
Istihsan bi al-Urf yaitu suatu pengecualian hukum dari
prinsip syari'ah yang bersifat umum kepada ketentuan yang lainnya, berdasarkan
atas kebiasaan yang berlaku.
Contoh:
Berdasarkan ketentuan umum, dalam menetapkan ongkos kendaraan umum dengan
harga tertentu secara pukul rata, tanpa membedakan dekat maupun jauhnya jarak
yang di tempuh adalah terlarang. Namun, kebiasaan
tersebut diperbolehkan berdasarkan kebiasaan
yang berlaku, demi menghindarkan kesulitan dan terpeliharanya
kebutuhan masyarakat terhadap transaksi tersebut.
d)
Istihsan bi ad-Dharurah yaitu terdapatnya keadaan darurat
untuk mengecualikan ketentuan yang umum kepada ketentuan lain yang memenuhi
kebutuhan dalam mengatasi keadaan darurat.
Contoh:
Menurut ketentuan umum,
hukum air sumur yang kejatuhan najis
adalah tetap najis, walaupun dengan cara menguras airnya. Sebab, ketika air sumur di kuras, maka mata air
akan tetap mengeluarkan air yang
kemudian akan bercampur dengan air yang terkena najis. Namun, untuk mengahapi keadaan darurat, maka
air sumur dihukumi suci setelah
di kuras.
5.
Kekuatan istihsan sebagai hujjah
Diantara orang-orang yang berhujjah dengan istihsan adalah mayoritas
kelompok hanafi. Mereka beralasan: Pengambilan dalil dengan istihsan adalah
mengambilan dalil dengan kias yang samar yang mengalahkan kias yang nyata, atau
memenangkan kias atas kias lain yang menentangnya karena kepentingan umum
dengan cara mengecualikan sebagian dari hukum umum. Dan semua itu pengambilan
dalil yang benar.
6. Alasan ulama yang tidak berhujah
dengan istihsan
Sebagian kelompok mujtahid menginkari kebenaran istihsan, mereka
menganggapnya sebagai pembentukan hukum berdasarkan hawa nafsu dan seenaknya sendiri.
Diantara tokohnya adalah Imam Syafii, seperti telah di nukil darinya; Siapa
yang menggunakan istihsan berarti ia membuat syariat. Artinya orang itu membuat
syariat sendiri. Ditetapkan dalam Risalah Ushuliyahnya: perumpamaan
orang yang menetapkan hukum dengan istihsan adalah seperti orang sholat menghadap ke arah yang di anggap baik itu ka’bah, tanpa
menggunakan dalil-dalil yang di tetapkan oleh syar’i dalam menetukan arah
ka’bah.
Dalam kitab itu disebutkan bahwa istihsan adalah berenak enak, seandainya
melakukan istihsan dalam agama itu diperbolehkan, niscaya boleh juga dilakukan
orang-orang yang punya akal meskipun bukan ahli ilmu. Dan niscaya boleh
menciptakan Syariat dalam agama di setiap permasalahan, serta setiap orang
boleh membuat syariat untuk dirinya sendiri.
BAB III
PENUTUP
PENUTUP
A. Kesimpulan
1.
Istihsan
menurut terminologi (istilah) ulama’ ushul adalah beralihnya pemikiran seorang
mujtahid dari tuntutan kias yang nyata kepada kias yang samar atau dari hukum
umum kepada perkecualian karena ada
kesalahan pemikiran yang kemudian memenangkan perpindahan itu.
2.
Macam-macam istihsan
a)
Mengedepankan qiyas khafi (tidak jelas) dari qiyas jali
(jelas), karena adanya dalil yang mengharuskan pemindahan itu, Istihsan dalam
bentuk ini, disebut dengan istihsan qiyasi.
b)
Mengecualikan
juz'iyah (khusus/parsial) dari hukum kully (umum) yang didasarkan atas dalil
khusus yang menghendaki demikian. Istihsan bentuk kedua
ini di sebut dengan istihsan istitsna'i. Dalam istihsan istitsna'i di
bagi menjadi beberapa macam, yaitu:
1.
Istihsan bi an-Nashash
2.
Istihsan bi al-Ijma'
3.
Istihsan bi al-Urf
4.
Istihsan bi ad-Dharurah
3. Diantara orang-orang yang
berhujjah dengan istihsan adalah mayoritas kelompok hanafi dan Sebagian kelompok mujtahid menginkari kebenaran istihsan tokohnya ialah
imam syafi’i.
B.
Saran
Kami
menyadari dalam makalah kami ini masih banyak kekurangan dan kesalahan, dan
kami berharap kritik dan saran
untuk makalah
ini demi kesempurnaanya.
DAFTAR PUSTAKA
Abu Zahrah Muhammad, Ushul Fiqih, (Pustaka
Firdaus :Jakarta, 1999)
Khallaf Abdul Wahhab, Ilmu ushul fikih, (Jakarta :
Pustaka Amani, 2003)
Syarifuddin Amir, Ushul fiqh jilid II, (Jakarta:
Kencana, 2011)